Debu
menerpa kaki Dea yang sedang bermain lompat tali dengan adiknya Via. Celoteh
mereka terdengar riuh oleh Mamanya yang ada di dapur sedang masak. Rumah mereka
memang sangat kecil dan sederhana, kau bisa melihat pintu depan yang sejajar
dengan pintu dapurnya. Mereka memang sangat miskin. Mama hanyalah ibu rumah
tangga biasa. Sementara Papanya hanya seorang satpam di salah satu mall.
Mama
tersenyum memandang keceriaan mereka. Dea dan Via berlomba untuk melompat lebih
banyak dan siapa yang kalah akan dapat hukuman yaitu menatap sinar matahari
yang menyilaukan. Rambut Dea yang tak bercahaya disatukan oleh karet gelang
kelihatan ikut menari-nari seturut lompatannya. Namun sejurus kemudian talinya
lepas dari tangannya hingga dia harus memberikan kepada adiknya Via untuk
gantian memainkan lompat tali tersebut. Mata Dea menatap tajam melihat tiap
lompatan dari Via. Semenit kemudian.
"Bwahahahahaha... Via
kalah!" Tawa Dea kegirangan saat melihat adiknya Via jatuh pada lompatan
kesepuluh. Airmata Via hampir jatuh dan bibirnya sudah monyong siap-siap
menjerit kesakitan. Namun Via bertahan, dia berdiri lalu membersihkan lututnya
yang berdarah. Sesaat kemudian Via menatap matahari yang menyilaukan itu.
Matanya disipitkan bahkan hampir tertutup.
"Ih, Via curang!" Omel
Kakaknya, Dea.
"Huh!" Via mencibirkan
bibir lalu kembali memandang matahari yang menyilaukan itu. Dea melihat Via
sudah membesarkan kedua bola matanya menentang matahari. Dea hanya tersenyum
lucu.
"Uh, sakit Kakak..."
Via menutupi matanya dengan telapak tangannya.
"Sudah... Sudah.... Aku
kasihan padamu." Kata Dea menyudahi hukuman untuk adiknya itu. Via
melompat kegirangan melihat kakaknya menyudahi permainan dan masuk kearah
dapur.
"Sudah mainnya?" Tanya
Mamanya yang memasak. Tangan kirinya mengelus-elus perut buncitnya dan tangan
kananya sedang memegang sendok goreng. Mamanya sedang hamil tua. Sekali-kali
Mama mengaduk-aduk sesuatu yang ada di dalam penggorengan.
"Udah, Ma..."
Dea
dan Via menuju kamar mandi lalu mencuci kakinya yang kotor. Dea sebenarnya
bukanlah anak-anak lagi. Dia sudah remaja sekolah kelas 3 SMP sementara Via
sekolah kelas 6 SD. Namun mereka selalu kompak dan mereka sering bermain-main
jika sudah pulang sekolah hingga keduanya terlihat seperti anak kecil.
"Ma, udah 2 hari Papa ga
pulang. Kemana Papa?" Tanya Dea sambil duduk di kursi, dilihatnya ada kue
jualan Mamanya di atas meja makan dia langsung main comot saja.
“Gak tau… Mama bingung Papa kamu
ada dimana,” Kata Mama, wajahnya sedikit kelihatan kesakitan namun dilanjutnya
lagi memasak.
“Uh, Papa… Mudah-mudahan tidak
berulah lagi,” Gumam Dea.
Pintu
dapur yang tadinya terbuka sedikit makin lama terlihat terdorong. Kriiiieeettt…
Seorang pria tua dengan jaket yang kumal berdiri di depan pintu. Sepatu
hitamnya terlihat sangat kotor dipenuhi lumpur. Wajah pria itu lebam-lebam
seperti bekas tinjuan, bibirnya sedikit pecah. Dea hanya menarik nafas saja.
Semantara Via menyambut pria itu dengan ekspresi khawatir. Mama hanya
menggeleng kepala.
“Papa kenapa?” Tanya Via
khawatir.
“Tak apa,” Papa berjongkok
membuka lilitan tali sepatunya dan kemudian memberikan kepada Via untuk
disimpan.
“Papa darimana?” Tanya Mama
menahan amarah.
“Eeh…” Papa tak bisa melanjutkan
perkataannya lalu kemudian dia berlalu sambil menahan kesakitan di wajahnya.
Mama
kelihatan menahan airmata agar tidak terjatuh, sedetik kemudian dia menjatuhkan
sendok penggorengan ke lantai dengan kerasnya. Praakkk!!! Papa menoleh dan
melihat Mama sudah ngambek. Papa
menghampirinya dengan perasaan bersalah.
“Maafkan Papa, Ma…” Mohon Papa
kepada Mama sambil memegangi tangan Mama, suara Papa memang sangat lambat.
Karena memang Papa sulit berbicara alias gagu. Mama menepis tangan Papa dengan
kuat. Papa geleng kepala dan merasa bahwa dirinya memanglah sangat bersalah.
Papa menoleh kearah Dea yang sedari tadi sudah berada di meja makan dengan
wajah marah. Dea langsung buang muka begitu melihat Papanya memandang dia.
Beberapa saat kemudian Dea berlalu dan masuk ke kamar. Di dalam kamar sudah ada
Via yang memeluk boneka beruangnya dengan wajah sedih.
“Sudah! Tak usah sedih,” Kata
Dea sambil merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Via hanya bisa diam,
bibirnya ingin mengatakan sesuatu.
“Kak, kasihan Papa… Kok
lebam-lebam begitu…” Mata Via berkaca-kaca.
“Mungkin dipukulin preman,” Kata
Dea santai.
Dari
arah dapur terdengar suara Papa memohon pada Mama dengan nada menyesal dan
hampir menangis. Dea dan Via bersama-sama bangun dari tempat tidur dan
mengintip dengan membuka sedikit gorden pintu kamarnya.
“Maaa..aaafin Paaa…paaa, Maaaahh…”
Papa memohon. “Papaaa ja…njiiiii ti…tidak me…mengulangi lagi…. Paaa…paaa ba..baru
sadar, Papa sang..sangat me…mencintai kaliaaan semuaaa,” Tangis Papa.
“Jangan bertele-tele. Papa
kenapa bisa luka-luka begitu?” Tanya Mama geram.
“Eh… Eh… Itu.. Itu… Papa kalah ma…main
judi…. Papaaa… dipukuli kkaarenaaa berhutanggg pa…padaaa me… mereka….” Ujar
Papa.
Mama
menutupi wajahnya dengan tepalak tangannya terdengar suara isak tangis Mama
yang tertahan oleh kedua telapak tangannya.
Sorenya,
Papa termenung di kamar. Via mendatangi Papa sambil membawa obat merah. Papa
tersenyum bahagia, namun wajahnya kembali berekspresi tawar begitu melihat Dea
berdiri di depan kamar dengan wajah sinis seperti sangat membenci Papanya.
“Huh…” Kata Dea sambil membuang
muka tetapi dia tetap masuk ke dalam kamar dan duduk di atas tempat tidur Papa.
Papa tersenyum melihat anak sulungnya yang berhati keras itu. Via meneteskan
obat merah kearah luka Papa. Sekali-kali Papa mengaduh.
“Nak,” Kata Papa tiba-tiba
memandangi kedua anaknya. “Paaappaaa… Janjiiii… Tiii…daakkk akaan men…mengulanginya
la…lagi…”
Dea
mengangkat alisnya tinggi-tinggi sambil mendengarkan kata demi kata yang dibual
Papanya. Sementara Via sudah ada di dalam pangkuan Papanya sambil tersenyum
mendengar pengakuan bersalah Papanya.
“Dea,” Panggil Papanya. Dea
memandang dengan angkuh, sepertinya hatinya masih jengkel dikarenakan Papanya
yang gagu ini masih suka main judi hingga tak pulang berhari-hari.
Dea
tak bergerak tetap pada posisinya dan tak mau menghampiri Papanya yang memanggilnya.
Akhirnya, Papanya yang bangkit berdiri dan mendekati anak sulungnya itu. Via
memandangi Kakaknya itu berharap agar Kakaknya tidak kasar lagi kepada Papa
seperti kejadian beberapa hari yang lalu saat Papa pulang lama, Kakaknya
memakinya dengan sebutan ‘gagu’. Menyeramkan memang seorang anak memaki
Papanya, namun itulah sifat Dea yang keras.
“Maaa…Maafkaannn.. Ppa..paapa,
yaachh..” Ujar Papa terbata.
Dea
mengangguk pelan. Wajah Via langsung bersinar memandang Kakaknya memaafkan
Papa. Papa memeluk anak sulungnya tersebut.
“Jangan ulangi lagi. Dea
sebenarnya sayang Papa….” Tangis Dea tiba-tiba. Papanya jadi ikut menangis. Via
ikut-ikutan berpelukan. “Kita sudah miskin, jangan bertingkah Paaa… Aku mohon,”
Tangis Dea.
“I..iyaa…”
Keesokan
paginya, Dea dan Via bersiap-siap pergi
sekolah. Papa bilang agar mereka sama berangkat, kebetulan Papa akan berangkat
kerja tetapi berjalan kaki saja. Dead an Via akhirnya berangkat bersama Papanya
menuju ke sekolah.
Di
perjalanan, Dea bertemu segerombolan teman sekelasnya. Mereka semua adalah
anak-anak orang berada. Dea menutupi wajah agar tidak terlihat oleh mereka.
Karena Dea sangat benci berurusan dengan mereka. Sementara itu, Via sudah
berbelok ke sebuah SD. Dea dan Papanya melanjutkan perjalanan. Tetap Dea
menutupi wajahnya.
“Ke…kenapa, nak?” Tanya Papanya
terbata.
“Sudah, Pa. Lanjut berjalan
saja. Aku tidak suka dengan segerombolan anak manja yang berjalan di depan kita
itu,” Kata Dea.
Namun,
satu di antara segerombolan itu yaitu Bianca menoleh ke belakang dan melihat
ada Dea dengan Papanya. Bianca segera menyikut teman-temannya agar bersama
menengok ke belakang.
“Bwahahahahahahaha…” Tawa mereka
pecah. Beberapa di antara mereka memegangi perutnya menahan tawa sambil
menunjuk-nunjuk kearah Papa dan Dea.
“Ke…Kenapaaa…?” Papa
kebingungan.
“Dea!!! Ini Papa kamu yang gagu
itu?” Tanya Bianca dan semua teman-temannya ikut-ikutan tertawa. Papa tertunduk
malu dan sangat merasa bersalah karena dia maka Dea diejek teman-temannya.
Teman-teman Dea melanjut perjalanan sambil terus berceloteh.
“Maaa..aafkaann Ppaapaaa, Deeea…”
Ujar Papanya merasa bersalah. Dea memicingkan mata kearah teman-temannya itu. “Biiiiaaarrkkaann…
sa..ja… dul..uuu… mmerek..aa berrjaa…lan ja…jauuh baruu..baruuu… ki…ta berrrjaa…lannn…”
Kata Papa mengelus rambut Dea.
Dari
arah yang sudah agak jauh namun celoteh mereka masih terdengar diiringi tawa
yang sangat keras. Dea memandangi wajah Papanya yang menunduk. Kemudian,
melihat teman-temannya bercerita sambil mengejek Papa.
“Tau ga? Udah miskin… Eh,
Papanya gagu lagi… Yang lebih parahnya, Dea yang udah gede tapi bentar lagi
bakal punya adek bayi… Wahahahahahahha…” Tawa Bianca diikuti teman yang lain.
“Paaa…” Kata Dea yang sudah
kelihatan geram.
“Sudahlaaahh…” Papa Dea
menenangkan Dea.
Namun,
Dea terlihat menyingsingkan lengan dan kemudian melepaskan tasnya lalu
menitipkan pada Papanya. Papanya terlihat kebingungan melihat tindakan anaknya.
Dea berjalan bak seorang pahlawan yang harga dirinya dicabik-cabik teman
sendiri.
“De…deaa…” Panggil Papanya,
namun Dea tak menggubris dia tetap berjalan dengan langkah berani mendekati
teman-temannya yang tidak tahu bahwa mereka sedang diikuti.
“Woiii!!!” Bentak Dea di tengah
riuh rendahnya tawa teman-temannya. Dan tawa yang paling keras adalah tawa
Bianca.
“Apa?” Tanya Bianca sinis sambil
berkacak pinggang. Teman-temannya hanya tertawa saja melihat aksi Dea yang sok
berani.
“Kamu bilang apa tadi tentang
Papaku?” Kata Dea sambil mengepalkan tangan.
“Oh, itu… Aku bilang kalo Papa
kamu itu…” Bianca tersenyum jahat. “GAGU! Bwahahahhahahahhahaha…” Bianca
tertawa bersama teman-teman yang lain.
Sudah
panas telinga Dea mendengar ejekan serta tawa mereka. Di tengah tawa mereka
yang bising itu, Dea sedang berpikir apa yang hendak dia lakukan pada
teman-temannya yang songong ini.
“Berhenti menertawakan
Papakuuu!!!” Jerit Dea, di sudut mata Dea sudah muncul air bening dan beberapa
detik kemudian air itu membasahi pipinya.
“Waduh, dia marah sambil nangis…
Hahahaha… Kasihan! Udah miskin, cengeng lagi!!!” Lagi-lagi Bianca mengejek Dea.
Dan Bianca tertawa habis-habisan seperti orang yang lagi kesetanan.
Tiba-tiba…
Bhhhuuukkk!!! Dea meninju hidung Bianca dengan keras sekali. Bianca terkejut
sambil mengelap darah segar yang mengucur dari hidungnya sambil memandangi Dea
ketakutan. Dea tersenyum sinis, Papa yang sedari tadi memandang dari jauh
kemudian berlari mendekati anaknya karena terkejut atas kelakuan anaknya yang
kasar tersebut.
“Dea!!!” Papa mendekati Dea.
Bianca memandangi Dea dan Papa Dea kemudian Bianca berlari sambil menangis
tersedu-sedu. Diikuti oleh teman-teman Bianca yang ketakutan Melihat Dea.
Sebenarnya,
Papa kuatir namun karena harus bekerja Papa dan Dea berpisah di gerbang
sekolahan. Dea memasuki kelas dengan wajah bak seorang pembunuh kelas kakap.
Teman-teman Bianca terlihat kaget melihat kedatangannya, mereka ketakutan akan
Dea. Hanya saja Bianca yang tetap angkuh dan memandang benci pada Dea.
Dea
duduk lebih depan sementara Bianca and the gank duduk di belakang. Jadi
posisinya sekarang, Dea membelakangi Bianca dan teman-temannya.
“Kasihan deh lo!” Ejek Dea
sambil duduk di bangkunya. Bianca memandang geram Dea. Bel sekolah belum
dimulai masih ada waktu sekira lima menit lagi.
“Dasar kamu jahat!” Omel Bianca.
“Cengeng!!! Tadi ngejek orang
cengeng padahal dirimu sendiri yang jelas-jelas cengeng. Hihihi…” Dea tertawa
cekikikan.
“Aku tidak takut padamu!!!”
Bentak Bianca sambil memukul mejanya sendiri.
“Aku juga…” Dea tersenyum sinis.
“Lihat saja besok!” Ancam
Bianca.
“Siapa takut….”
Teng!
Teng! Teng! Terdengar bunyi lonceng sekolah. Semuanya pun mulai berlari-lari
masuk ke kelas. Joshua teman sebangku Dea yang sering sekali terlambat terlihat
berlari ngos-ngosan. Dia langsung menghempaskan pantatnya di kursi.
“Tumben lebih cepat?” Tanya Dea
heran.
“Emang siapa yang pernah telat?”
Tanya Joshua seperti amnesia. Dea mengangkat alis matanya tinggi-tinggi melihat
gelagat sahabatnya yang pura-pura hilang ingatan.
Kelas
belum didatangi oleh guru, kesempatan untuk Dea memberitahukan kabar panas pada
sahabatnya Joshua. Disikutnya Joshua dengan kerasnya sampai Joshua mengaduh.
Lalu bola mata Dea mengisyaratkan Joshu agar melihat pemandangan yang ada di
belakang. Sudah bisa ditebak kalau Joshua kebingungan melihat ekspresi Bianca
dan teman-temannya.
“Mereka kenapa?” Bisik Joshua.
“Hihihi… Untuk pertama kalinya,
aku tadi meninju hidung Bianca sampai berdarah,” Tawa Dea. Joshua kelihatan
terkejut dan geleng-geleng kepala. “Habisnya dia ngejek-ngejek Papa aku!” Dea
membela diri.
Ibu
guru kelihatan muncul dari arah pintu dan semua anak-anak yang ada di dalam
kelas hening dan memulai pelajaran mereka.
******
Beberapa
hari kemudian terdengar suara Dea dari arah dapur sedang menangis kesakitan dan
diikuti bunyi pukulan yang dipukul pakai sapu lidi. Ya, Dea sedang dihukum Mamanya karena kasus
Dea dengan Bianca tersebut maka pihak sekolah mengirimkan surat panggilan kepada
Mamanya.
“Ampun, Ma… Dea ga ngulangin
lagi…” Tangis Dea. Via hanya memandang ketakutan pada pukulan demi pukulan yang
dihasilkan oleh Mama. Phak…!!! Phak…!!!
Mama
memukuli lengan dan punggung Dea dengan kerasnya menggunakan sapu lidi. Dea
hanya menutupi wajah dengan telapak tangannya sekali-kali dia minta ampun atas
ulahnya. Mata Mama berair mengeluarkan airmata melihat dia sepertinya tidak
berhasil mendidik anak.
“Ampun, Ma…” Kata Dea pelan lalu
jatuh ke lantai karena tak tahan lagi berdiri.
“Mau jadi apa kamu??? Preman???”
Pekik Mama.
Malamnya,
Mama masuk ke dalam kamar Dea dan Via. Mama terlihat sepertinya sudah menyesali
perbuatannya tadi. Mama duduk di atas tempat tidur Dea.
“Dea…” Bisik Mama.
Dea
menoleh kearah suara Mama. Dia langsung memeluk Mamanya dan berulangkali
mengatakan maaf pada Mamanya. Mama hanya tersenyum dan mengelus-elus rambut Dea
yang tak indah itu.
“Kamu harus sadar, Nak. Kita
orang miskin jadi jangan lakukan hal itu. Kamu terlihat congkak bila melakukan
hal itu.” Kata Mama pelan.
“Dia mengejek Papa, Ma…” Dea
hampir menangis mengatakannya. Mama tersenyum getir dan memandang wajah anaknya
yang sedikit badung itu.
“Dengar Mama. Kamu tak perlu
membantu Tuhan untuk menyalahkan atau membenarkan seseorang. Mengerti!” Kata
Mama.
Mata
Dea berkedip-kedip berusaha mencerna arti omongan Mamanya. Otaknya seperti
berpikir untuk dapat menjawab Mamanya. Mama tersenyum manis melihat ekspresi
anak sulunya tersebut.
“Tapi Ma… Tuhan diam saja! Dia
tidak membantu aku dan Papa,” Kata Dea membuat senyum Mama buyar seketika.
“Kayaknya Tuhan pilih kasih, Ma.
Mentang-mentang kita orang miskin,” Oceh Dea sesuka hati.
“Ssssttt… Tidurlah,” Kata Mama
berdiri dari tempat tidur dan berjalan kearah pintu kamar. Sebelum benar-benar
keluar Mama menoleh kearah Dea, mata Dea masih berkedip-kedip memang itulah
yang dilakukan Dea bila dia sedang berpikir keras.
“Siap-siap besok. Pertemuan
antara Mama dan Kepsekmu. Huft!” Mama
keluar dan menutup pintu.
Dea
kelihatan menggigit bibirnya dalam otaknya terbayang besok apa yang terjadi. Sejurus
kemudian, Dea duduk dan melipat kedua tangannya dan dia berdoa untuk meminta
semoga besok tidak terlalu berat masalah menimpanya. Cukup lama Dea berdoa
sampai pada akhirnya terdengarlah kata “Amien”. Dea langsung merebahkan
badannya dan menarik selimut untuk tidur nyenyak.
*****
Keesokan
paginya, Mama dan Dea sudah duduk berhadap-hadapan dengan Kepsek. Sepanjang
menunggu kehadiran Bianca dan Mamanya, Dea hanya bisa tersenyum. Kepsek sangat
sayang kepada Dea, karena Dea adalah seorang siswa yang sangat berprestasi.
Mama mengelus-elus perut besarnya sambil sesekali melihat jam.
Beberapa
menit kemudian dari arah pintu muncullah Bianca dan Mamanya yang glamour.
Bianca memasang wajah sombong karena merasa sangat bangga atas tampilan Mama
Bianca yang kontras dan itu terlihat jauh berbeda dari Mama Dea. Mama Dea
menunduk malu sambil memandangi perutnya yang membesar.
Bianca
dan Mamanya duduk, mata sinis mereka tidak berhenti memandang kearah Dea dan
Mamanya. Sesaat kemudian Mama Bianca berbisik kearah Bianca. “Kumal, yach?”
Bisiknya dan itu terdengar oleh Dead an Mama bahkan Bapak Kepsek pun
mendengarnya.
“Ehem…” Pak Kepsek mendehem.
“Anak seperti Dea ini sudah
sepatutnya dikeluarkan, Pak” Kata Mama Bianca memecahkan keheningan, Dea membelalakkan
matanya dan menangis. “Kasar begitu! Beeuuh, anak seperti apa? Orangtuanya ga
ngajari kaliii…” Oceh Mama Bianca membabi-buta.
“Tenang…” Kata Kepsek.
“Tenang apanya Pak? Dia meninju
anak saya sampai mimisan, saya tidak terima!” Mama Bianca terlihat emosi.
Dea
hanya bisa menunduk menunggu nasibnya. Bianca tersenyum penuh kemenangan
melihat Dea dan Mamanya ketakutan melihat kemegahan Mama Bianca apalagi dalam
hal berbicara. Pak Kepsek terlihat memandangi Mama Bianca yang berceloteh
sambil memandangi jam, mungkin Pak Kepsek sedang menghitung kira-kira berapa
jam yang akan dihabiskan Mama Bianca untuk berbicara tanpa membiarkan temannya
berbicara untuk mengeluarkan pendapat.
Terlihat
Mama Bianca sudah kecapaian berbicara panjang lebar. Mata sinisnya berputar
kearah Dea dan Mama. Pak Kepsek memanfaatkan waktu itu untuk berbicara. Tetapi
saat Pak Kepsek hendak berbicara, Mama Bianca memotong lagi.
“Pokoknya keluarkan anak kurang
ajar ini!” Kata Mama Bianca sambil menunjuk kearah Dea. “Anggap saja alasan
atas keluarga kami yang menjadi donatur terbesar di sekolahan ini,” Ucap Mama
Bianca dengan sombongnya. Dea lemas begitu diucapkan kelebihan-kelebihan dari
keluarga Bianca. Ah, kalahlah aku. Pikir Dea lemas.
“Lho?” Pak Kepsek terlihat
terkejut. “Kalau begitu saya tidak akan melepaskan anak ini dengan alasan, anak
ini adalah anak yang berprestasi,” Kata Pak Kepsek.
“Hallaahh… Pintar tetapi tidak
memiliki etika untuk apa?” Oceh Mama Bianca.
“Jangan salah, Bu! Anak Ibulah
yang tidak punya etika menghina-hina orangtua dari Dea. Dimana letak kecerdasan
anak Ibu? Dia tidak menghormati orangtua,” Kata Pak Kepsek tegas.
“Tak apa-apa! Khan, itu memang
kenyataan kalau Bapaknya gagu. Hahahahaha…” Caci Mama Bianca.
“Berarti Ibu sendirilah yang
tidak memiliki etika!”
Perkataan
Pak Kepsek membuat Mama Bianca menjadi bungkam dan dia terlihat buntu tak bisa
lagi menjawab. Keadaan ruangan hening.
Pada
kenyataannya Dea bebas dari skorsing atau dikeluarkan dari sekolahan. Pak
Kepsek yang baik hatilah yang menyelematkannya. Dea memeluk Mamanya sambil
berbisik pelan, “Takkan kuulangi lagi, Ma…” Mama melepaskan pelukannya dan
mengacungkan jempol pada Dea. Dea berlari-lari ke kelas dengan senangnya. Mama
melihat Dea dari kejauhan, tetapi Mama hampir terjatuh karena sengaja ditubruk
oleh Mama Bianca.
“Kere!!!”
Mama
Dea hanya mengelus dada dan mencoba tersenyum. Dengan perlahan dia mencoba
berjalan meninggalkan sekolahan dengan harapan Dea baik-baik saja belajarnya
dan tak mengulah lagi.
Sementara
itu di kelas, Joshua menyambut kedatangan Dea dengan kegirangan dan TOSS!!! Dea
tersenyum bahagia, Joshua memandangi kedatangan Bianca dengan menahan-nahan
senyum. Dea menyikut Joshua agar berhenti cengengesan.
Sepulang
sekolah Dea terkejut melihat Via yang terbaring di atas tempat tidur dengan
suhu tubuh yang sangat panas. Mama memandangi anak bungsunya itu dengan
harap-harap cemas. Sesekali Via mengigau.
“Sudah dikasih obat, Ma?” Tanya
Dea.
“Uang darimana? Mama hanya
mengompres Via saja tadi,” Ujar Mama cemas.
Dea
langsung pergi keluar dan melihat jualan kue Mama masih terletak di atas meja.
Dea masuk kamar lagi menjumpai Mamanya.
“Ma, aku saja yang jualan kue,
yach?”
Tanpa
menunggu jawaban Dea langsung berlari mengangkat box tempat kue jualan Mamanya.
Udara sangat panas, lagi pula Dea belum berganti baju tetapi dia tetap semangat
menggantikan Mamanya berjualan kue. Mamanya biasanya berjualan kue di terminal.
Maka Dea harus menempuh jarak yang lumayan jauh.
“Kue…Kue…Kue…” Seru Dea
menjajakan kuenya. Dea berpapasan dengan beberapa teman sekolahnya, namun dia
tidak malu karena ini dilakukannya untuk Mama dan adiknya di rumah. Suhu tubuh
adiknya sangatlah panas, Dea tak mau terjadi sesuatu yang buruk pada Via. Dea
cukup pandai berjualan, buktinya belum sampai sore hari jualannya sudah laku
semua. Dea segera pulang ke rumah dan perutnya terasa sangat lapar karena belum
diisi sejak siang tadi.
Krriiieeettt…
Pintu reot mereka terdengar terbuka oleh Dea. Dea bergegas masuk ke dalam kamar
dan mengisyaratkan pada Mama bahwa jualannya sudah laku habis. Mama tersenyum
dan kemudian Mama menyuruh Dea ke apotik untuk membeli obat buat adiknya.
Sebenarnya Dea ingin menolak karena perutnya kosong belum makan seharian.
Tetapi apa boleh buat, adiknya perlu makan obat. Perjuangan Dea untuk adiknya
belum berakhir.
“Oke, Ma…” Katanya semangat.
Sambil berlari lagi keluar untuk membeli obat buat adiknya. Dia berjalan
kira-kira 5 KM sampai apotik. Dea segera menyebutkan obatnya, begitu obatnya
sudah ada di tangan Dea bergegas pulang ke rumah.
“Ini Maaa…!!!” Seru Dea sudah
dari luar rumah hingga dia masuk masih tetap berseru. Saat dia masuk melihat
Papanya sudah pulang dan bersantap malam.
“Pa! Tinggalkan untukku, aku
belum makan mulai tadi siang!” Kata Dea sambil masuk ke dalam kamar, beberapa
detik kemudian dia mencampakkan sepatu sekolahnya begitu saja lalu segera
bergabung di meja makan dengan Papanya.
“Hore Makan!!!” Seru Dea senang
sekali. Papa kebingungan melihat anaknya makan sangat rakus sekali. Dea tak
peduli, dia hanya fokus kepada makanannya saja.
“Hei!” Panggil Papanya
kebingungan, Dea hanya memandang sebentar tanpa menyahut kemudian lanjut lagi
makan.
“Bagaimana masalahmu di sekolah?”
Tanya Papa kikuk.
“Tenang, Pa. Teratasi dengan
sangat baik oleh Pak Kepsek yang baik hati,” Dea menjawab dengan sangat
kesusahan. Terlihat Mama keluar dari kamar tersenyum melihat Dea.
“Dea…”
“Eh, Ma… Gimana keadaan si Via?”
Tanya Dea tanpa menoleh ke Mamanya.
“Makasih yah, Nak. Tapi kenapa
kamu ga bilang kalau kamu belum makan sejak tadi siang? Jaga kesehatanmu, Nak,”
“Tenang saja, Ma… Demi adik
tercinta…”
Mama
duduk di samping Dea. Mama dan Papa berpandang-pandangan keduanya menahan lucu
melihat tingkah anak sulungnya ini. Dea meneguk air minum sebanyak-banyak
sampai dia terdengar bersendawa.
“Uuupss… Sorry!”
Sambil
makan, Dea bercerita dan sekali-kali dia tersedak. Dia bercerita tentang
kejadian beberapa jam yang lalu saat dia dan Mama berhadapan dengan Kepsek dan
Mama Bianca. Yang tadinya, suasana yang sangat menegangkan tetapi sekarang
terdengar lucu saat Dea menceritakan dengan humor khas anak-anak. Semuanya
dipraktekkannya sampai saat ekspresi wajah Mama Bianca yang menanggung malu
ketika pada kenyataanya ternyata Bianca-lah yang salah karena tidak punya etika
pada orangtua.
Dea
makan seperti ada peperangan dengan menggunakan senjata tajam karena sendoknya
mengais-ngais piring. Selesai makan malam, tiba-tiba Dea seperti sedang
kemasukan setan. Tiada angin, tiada hujan tiba-tiba Dea memeluk Mamanya mesra
cukup lama, beberapa saat kemudian gentian dia memeluk Papanya.
“Kenapa sich? Lucu dech!” Kata
Mama.
“Kok lucu? Aku sayang kalian
berdua. Jangan pernah tinggalkan kami yach? Pokoknya teruslah bersama kami. Ok!”
Kata Dea serius sambil mengacungkan jempol.
“Hahahahahahahahahahaha…” Mama
dan Papa tertawa bersama membuat Dea mencibirkan bibirnya. Padahal Dea serius,
bukan sedang membuat lawakan.
“Kami juga sayang padamu, Nak…”
Kata Mama dan Papa bersamaan.
“Siippp…”
Keluarga
miskin ini menghabiskan malam bersama dengan senyum menghiasi wajah mereka.
Mereka sambilan bernyanyi-nyanyi menghibur Via yang sedang sakit. Via Cuma bisa
tersenyum kecut sepertinya dia sangat tidak enak badan.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar