Minggu, 01 Januari 2012

Sibling Rivalry Bag. 1

            Debu menerpa kaki Dea yang sedang bermain lompat tali dengan adiknya Via. Celoteh mereka terdengar riuh oleh Mamanya yang ada di dapur sedang masak. Rumah mereka memang sangat kecil dan sederhana, kau bisa melihat pintu depan yang sejajar dengan pintu dapurnya. Mereka memang sangat miskin. Mama hanyalah ibu rumah tangga biasa. Sementara Papanya hanya seorang satpam di salah satu mall. 
            Mama tersenyum memandang keceriaan mereka. Dea dan Via berlomba untuk melompat lebih banyak dan siapa yang kalah akan dapat hukuman yaitu menatap sinar matahari yang menyilaukan. Rambut Dea yang tak bercahaya disatukan oleh karet gelang kelihatan ikut menari-nari seturut lompatannya. Namun sejurus kemudian talinya lepas dari tangannya hingga dia harus memberikan kepada adiknya Via untuk gantian memainkan lompat tali tersebut. Mata Dea menatap tajam melihat tiap lompatan dari Via. Semenit kemudian.
"Bwahahahahaha... Via kalah!" Tawa Dea kegirangan saat melihat adiknya Via jatuh pada lompatan kesepuluh. Airmata Via hampir jatuh dan bibirnya sudah monyong siap-siap menjerit kesakitan. Namun Via bertahan, dia berdiri lalu membersihkan lututnya yang berdarah. Sesaat kemudian Via menatap matahari yang menyilaukan itu. Matanya disipitkan bahkan hampir tertutup.
"Ih, Via curang!" Omel Kakaknya, Dea.
"Huh!" Via mencibirkan bibir lalu kembali memandang matahari yang menyilaukan itu. Dea melihat Via sudah membesarkan kedua bola matanya menentang matahari. Dea hanya tersenyum lucu.

"Uh, sakit Kakak..." Via menutupi matanya dengan telapak tangannya.
"Sudah... Sudah.... Aku kasihan padamu." Kata Dea menyudahi hukuman untuk adiknya itu. Via melompat kegirangan melihat kakaknya menyudahi permainan dan masuk kearah dapur.
"Sudah mainnya?" Tanya Mamanya yang memasak. Tangan kirinya mengelus-elus perut buncitnya dan tangan kananya sedang memegang sendok goreng. Mamanya sedang hamil tua. Sekali-kali Mama mengaduk-aduk sesuatu yang ada di dalam penggorengan.
"Udah, Ma..."
            Dea dan Via menuju kamar mandi lalu mencuci kakinya yang kotor. Dea sebenarnya bukanlah anak-anak lagi. Dia sudah remaja sekolah kelas 3 SMP sementara Via sekolah kelas 6 SD. Namun mereka selalu kompak dan mereka sering bermain-main jika sudah pulang sekolah hingga keduanya terlihat seperti anak kecil.
"Ma, udah 2 hari Papa ga pulang. Kemana Papa?" Tanya Dea sambil duduk di kursi, dilihatnya ada kue jualan Mamanya di atas meja makan dia langsung main comot saja.
“Gak tau… Mama bingung Papa kamu ada dimana,” Kata Mama, wajahnya sedikit kelihatan kesakitan namun dilanjutnya lagi memasak.
“Uh, Papa… Mudah-mudahan tidak berulah lagi,” Gumam Dea.
            Pintu dapur yang tadinya terbuka sedikit makin lama terlihat terdorong. Kriiiieeettt… Seorang pria tua dengan jaket yang kumal berdiri di depan pintu. Sepatu hitamnya terlihat sangat kotor dipenuhi lumpur. Wajah pria itu lebam-lebam seperti bekas tinjuan, bibirnya sedikit pecah. Dea hanya menarik nafas saja. Semantara Via menyambut pria itu dengan ekspresi khawatir. Mama hanya menggeleng kepala.
“Papa kenapa?” Tanya Via khawatir.
“Tak apa,” Papa berjongkok membuka lilitan tali sepatunya dan kemudian memberikan kepada Via untuk disimpan.
“Papa darimana?” Tanya Mama menahan amarah.
“Eeh…” Papa tak bisa melanjutkan perkataannya lalu kemudian dia berlalu sambil menahan kesakitan di wajahnya.
            Mama kelihatan menahan airmata agar tidak terjatuh, sedetik kemudian dia menjatuhkan sendok penggorengan ke lantai dengan kerasnya. Praakkk!!! Papa menoleh dan melihat Mama sudah ngambek. Papa menghampirinya dengan perasaan bersalah.
“Maafkan Papa, Ma…” Mohon Papa kepada Mama sambil memegangi tangan Mama, suara Papa memang sangat lambat. Karena memang Papa sulit berbicara alias gagu. Mama menepis tangan Papa dengan kuat. Papa geleng kepala dan merasa bahwa dirinya memanglah sangat bersalah. Papa menoleh kearah Dea yang sedari tadi sudah berada di meja makan dengan wajah marah. Dea langsung buang muka begitu melihat Papanya memandang dia. Beberapa saat kemudian Dea berlalu dan masuk ke kamar. Di dalam kamar sudah ada Via yang memeluk boneka beruangnya dengan wajah sedih.
“Sudah! Tak usah sedih,” Kata Dea sambil merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Via hanya bisa diam, bibirnya ingin mengatakan sesuatu.
“Kak, kasihan Papa… Kok lebam-lebam begitu…” Mata Via berkaca-kaca.
“Mungkin dipukulin preman,” Kata Dea santai.
            Dari arah dapur terdengar suara Papa memohon pada Mama dengan nada menyesal dan hampir menangis. Dea dan Via bersama-sama bangun dari tempat tidur dan mengintip dengan membuka sedikit gorden pintu kamarnya.
“Maaa..aaafin Paaa…paaa, Maaaahh…” Papa memohon. “Papaaa ja…njiiiii ti…tidak me…mengulangi lagi…. Paaa…paaa ba..baru sadar, Papa sang..sangat me…mencintai kaliaaan semuaaa,” Tangis Papa.
“Jangan bertele-tele. Papa kenapa bisa luka-luka begitu?” Tanya Mama geram.
“Eh… Eh… Itu.. Itu… Papa kalah ma…main judi…. Papaaa… dipukuli kkaarenaaa berhutanggg pa…padaaa me… mereka….” Ujar Papa.
            Mama menutupi wajahnya dengan tepalak tangannya terdengar suara isak tangis Mama yang tertahan oleh kedua telapak tangannya.
            Sorenya, Papa termenung di kamar. Via mendatangi Papa sambil membawa obat merah. Papa tersenyum bahagia, namun wajahnya kembali berekspresi tawar begitu melihat Dea berdiri di depan kamar dengan wajah sinis seperti sangat membenci Papanya.
“Huh…” Kata Dea sambil membuang muka tetapi dia tetap masuk ke dalam kamar dan duduk di atas tempat tidur Papa. Papa tersenyum melihat anak sulungnya yang berhati keras itu. Via meneteskan obat merah kearah luka Papa. Sekali-kali Papa mengaduh.
“Nak,” Kata Papa tiba-tiba memandangi kedua anaknya. “Paaappaaa… Janjiiii… Tiii…daakkk akaan men…mengulanginya la…lagi…”
            Dea mengangkat alisnya tinggi-tinggi sambil mendengarkan kata demi kata yang dibual Papanya. Sementara Via sudah ada di dalam pangkuan Papanya sambil tersenyum mendengar pengakuan bersalah Papanya.
“Dea,” Panggil Papanya. Dea memandang dengan angkuh, sepertinya hatinya masih jengkel dikarenakan Papanya yang gagu ini masih suka main judi hingga tak pulang berhari-hari.
            Dea tak bergerak tetap pada posisinya dan tak mau menghampiri Papanya yang memanggilnya. Akhirnya, Papanya yang bangkit berdiri dan mendekati anak sulungnya itu. Via memandangi Kakaknya itu berharap agar Kakaknya tidak kasar lagi kepada Papa seperti kejadian beberapa hari yang lalu saat Papa pulang lama, Kakaknya memakinya dengan sebutan ‘gagu’. Menyeramkan memang seorang anak memaki Papanya, namun itulah sifat Dea yang keras.
“Maaa…Maafkaannn.. Ppa..paapa, yaachh..” Ujar Papa terbata.
            Dea mengangguk pelan. Wajah Via langsung bersinar memandang Kakaknya memaafkan Papa. Papa memeluk anak sulungnya tersebut.
“Jangan ulangi lagi. Dea sebenarnya sayang Papa….” Tangis Dea tiba-tiba. Papanya jadi ikut menangis. Via ikut-ikutan berpelukan. “Kita sudah miskin, jangan bertingkah Paaa… Aku mohon,” Tangis Dea.
“I..iyaa…”
            Keesokan paginya, Dea dan Via bersiap-siap  pergi sekolah. Papa bilang agar mereka sama berangkat, kebetulan Papa akan berangkat kerja tetapi berjalan kaki saja. Dead an Via akhirnya berangkat bersama Papanya menuju ke sekolah.
            Di perjalanan, Dea bertemu segerombolan teman sekelasnya. Mereka semua adalah anak-anak orang berada. Dea menutupi wajah agar tidak terlihat oleh mereka. Karena Dea sangat benci berurusan dengan mereka. Sementara itu, Via sudah berbelok ke sebuah SD. Dea dan Papanya melanjutkan perjalanan. Tetap Dea menutupi wajahnya.
“Ke…kenapa, nak?” Tanya Papanya terbata.
“Sudah, Pa. Lanjut berjalan saja. Aku tidak suka dengan segerombolan anak manja yang berjalan di depan kita itu,” Kata Dea.
            Namun, satu di antara segerombolan itu yaitu Bianca menoleh ke belakang dan melihat ada Dea dengan Papanya. Bianca segera menyikut teman-temannya agar bersama menengok ke belakang.
“Bwahahahahahahaha…” Tawa mereka pecah. Beberapa di antara mereka memegangi perutnya menahan tawa sambil menunjuk-nunjuk kearah Papa dan Dea.
“Ke…Kenapaaa…?” Papa kebingungan.
“Dea!!! Ini Papa kamu yang gagu itu?” Tanya Bianca dan semua teman-temannya ikut-ikutan tertawa. Papa tertunduk malu dan sangat merasa bersalah karena dia maka Dea diejek teman-temannya. Teman-teman Dea melanjut perjalanan sambil terus berceloteh.
“Maaa..aafkaann Ppaapaaa, Deeea…” Ujar Papanya merasa bersalah. Dea memicingkan mata kearah teman-temannya itu. “Biiiiaaarrkkaann… sa..ja… dul..uuu… mmerek..aa berrjaa…lan ja…jauuh baruu..baruuu… ki…ta berrrjaa…lannn…” Kata Papa mengelus rambut Dea.
            Dari arah yang sudah agak jauh namun celoteh mereka masih terdengar diiringi tawa yang sangat keras. Dea memandangi wajah Papanya yang menunduk. Kemudian, melihat teman-temannya bercerita sambil mengejek Papa.
“Tau ga? Udah miskin… Eh, Papanya gagu lagi… Yang lebih parahnya, Dea yang udah gede tapi bentar lagi bakal punya adek bayi… Wahahahahahahha…” Tawa Bianca diikuti teman yang lain.
“Paaa…” Kata Dea yang sudah kelihatan geram.
“Sudahlaaahh…” Papa Dea menenangkan Dea.
            Namun, Dea terlihat menyingsingkan lengan dan kemudian melepaskan tasnya lalu menitipkan pada Papanya. Papanya terlihat kebingungan melihat tindakan anaknya. Dea berjalan bak seorang pahlawan yang harga dirinya dicabik-cabik teman sendiri.
“De…deaa…” Panggil Papanya, namun Dea tak menggubris dia tetap berjalan dengan langkah berani mendekati teman-temannya yang tidak tahu bahwa mereka sedang diikuti.
“Woiii!!!” Bentak Dea di tengah riuh rendahnya tawa teman-temannya. Dan tawa yang paling keras adalah tawa Bianca.
“Apa?” Tanya Bianca sinis sambil berkacak pinggang. Teman-temannya hanya tertawa saja melihat aksi Dea yang sok berani.
“Kamu bilang apa tadi tentang Papaku?” Kata Dea sambil mengepalkan tangan.
“Oh, itu… Aku bilang kalo Papa kamu itu…” Bianca tersenyum jahat. “GAGU! Bwahahahhahahahhahaha…” Bianca tertawa bersama teman-teman yang lain.
            Sudah panas telinga Dea mendengar ejekan serta tawa mereka. Di tengah tawa mereka yang bising itu, Dea sedang berpikir apa yang hendak dia lakukan pada teman-temannya yang songong ini.
“Berhenti menertawakan Papakuuu!!!” Jerit Dea, di sudut mata Dea sudah muncul air bening dan beberapa detik kemudian air itu membasahi pipinya.
“Waduh, dia marah sambil nangis… Hahahaha… Kasihan! Udah miskin, cengeng lagi!!!” Lagi-lagi Bianca mengejek Dea. Dan Bianca tertawa habis-habisan seperti orang yang lagi kesetanan.
            Tiba-tiba… Bhhhuuukkk!!! Dea meninju hidung Bianca dengan keras sekali. Bianca terkejut sambil mengelap darah segar yang mengucur dari hidungnya sambil memandangi Dea ketakutan. Dea tersenyum sinis, Papa yang sedari tadi memandang dari jauh kemudian berlari mendekati anaknya karena terkejut atas kelakuan anaknya yang kasar tersebut.
“Dea!!!” Papa mendekati Dea. Bianca memandangi Dea dan Papa Dea kemudian Bianca berlari sambil menangis tersedu-sedu. Diikuti oleh teman-teman Bianca yang ketakutan Melihat Dea.
            Sebenarnya, Papa kuatir namun karena harus bekerja Papa dan Dea berpisah di gerbang sekolahan. Dea memasuki kelas dengan wajah bak seorang pembunuh kelas kakap. Teman-teman Bianca terlihat kaget melihat kedatangannya, mereka ketakutan akan Dea. Hanya saja Bianca yang tetap angkuh dan memandang benci pada Dea.
            Dea duduk lebih depan sementara Bianca and the gank duduk di belakang. Jadi posisinya sekarang, Dea membelakangi Bianca dan teman-temannya.
“Kasihan deh lo!” Ejek Dea sambil duduk di bangkunya. Bianca memandang geram Dea. Bel sekolah belum dimulai masih ada waktu sekira lima menit lagi.
“Dasar kamu jahat!” Omel Bianca.
“Cengeng!!! Tadi ngejek orang cengeng padahal dirimu sendiri yang jelas-jelas cengeng. Hihihi…” Dea tertawa cekikikan.
“Aku tidak takut padamu!!!” Bentak Bianca sambil memukul mejanya sendiri.
“Aku juga…” Dea tersenyum sinis.
“Lihat saja besok!” Ancam Bianca.
“Siapa takut….”
            Teng! Teng! Teng! Terdengar bunyi lonceng sekolah. Semuanya pun mulai berlari-lari masuk ke kelas. Joshua teman sebangku Dea yang sering sekali terlambat terlihat berlari ngos-ngosan. Dia langsung menghempaskan pantatnya di kursi.
“Tumben lebih cepat?” Tanya Dea heran.
“Emang siapa yang pernah telat?” Tanya Joshua seperti amnesia. Dea mengangkat alis matanya tinggi-tinggi melihat gelagat sahabatnya yang pura-pura hilang ingatan.
            Kelas belum didatangi oleh guru, kesempatan untuk Dea memberitahukan kabar panas pada sahabatnya Joshua. Disikutnya Joshua dengan kerasnya sampai Joshua mengaduh. Lalu bola mata Dea mengisyaratkan Joshu agar melihat pemandangan yang ada di belakang. Sudah bisa ditebak kalau Joshua kebingungan melihat ekspresi Bianca dan teman-temannya.
“Mereka kenapa?” Bisik Joshua.
“Hihihi… Untuk pertama kalinya, aku tadi meninju hidung Bianca sampai berdarah,” Tawa Dea. Joshua kelihatan terkejut dan geleng-geleng kepala. “Habisnya dia ngejek-ngejek Papa aku!” Dea membela diri.
            Ibu guru kelihatan muncul dari arah pintu dan semua anak-anak yang ada di dalam kelas hening dan memulai pelajaran mereka.
******
            Beberapa hari kemudian terdengar suara Dea dari arah dapur sedang menangis kesakitan dan diikuti bunyi pukulan yang dipukul pakai sapu lidi.  Ya, Dea sedang dihukum Mamanya karena kasus Dea dengan Bianca tersebut maka pihak sekolah mengirimkan surat panggilan kepada Mamanya.
“Ampun, Ma… Dea ga ngulangin lagi…” Tangis Dea. Via hanya memandang ketakutan pada pukulan demi pukulan yang dihasilkan oleh Mama. Phak…!!! Phak…!!!
            Mama memukuli lengan dan punggung Dea dengan kerasnya menggunakan sapu lidi. Dea hanya menutupi wajah dengan telapak tangannya sekali-kali dia minta ampun atas ulahnya. Mata Mama berair mengeluarkan airmata melihat dia sepertinya tidak berhasil mendidik anak.
“Ampun, Ma…” Kata Dea pelan lalu jatuh ke lantai karena tak tahan lagi berdiri.
“Mau jadi apa kamu??? Preman???” Pekik Mama.
            Malamnya, Mama masuk ke dalam kamar Dea dan Via. Mama terlihat sepertinya sudah menyesali perbuatannya tadi. Mama duduk di atas tempat tidur Dea.
“Dea…” Bisik Mama.
            Dea menoleh kearah suara Mama. Dia langsung memeluk Mamanya dan berulangkali mengatakan maaf pada Mamanya. Mama hanya tersenyum dan mengelus-elus rambut Dea yang tak indah itu.
“Kamu harus sadar, Nak. Kita orang miskin jadi jangan lakukan hal itu. Kamu terlihat congkak bila melakukan hal itu.” Kata Mama pelan.
“Dia mengejek Papa, Ma…” Dea hampir menangis mengatakannya. Mama tersenyum getir dan memandang wajah anaknya yang sedikit badung itu.
“Dengar Mama. Kamu tak perlu membantu Tuhan untuk menyalahkan atau membenarkan seseorang. Mengerti!” Kata Mama.
            Mata Dea berkedip-kedip berusaha mencerna arti omongan Mamanya. Otaknya seperti berpikir untuk dapat menjawab Mamanya. Mama tersenyum manis melihat ekspresi anak sulunya tersebut.
“Tapi Ma… Tuhan diam saja! Dia tidak membantu aku dan Papa,” Kata Dea membuat senyum Mama buyar seketika.
“Kayaknya Tuhan pilih kasih, Ma. Mentang-mentang kita orang miskin,” Oceh Dea sesuka hati.
“Ssssttt… Tidurlah,” Kata Mama berdiri dari tempat tidur dan berjalan kearah pintu kamar. Sebelum benar-benar keluar Mama menoleh kearah Dea, mata Dea masih berkedip-kedip memang itulah yang dilakukan Dea bila dia sedang berpikir keras.
“Siap-siap besok. Pertemuan antara Mama dan Kepsekmu. Huft!”  Mama keluar dan menutup pintu.
            Dea kelihatan menggigit bibirnya dalam otaknya terbayang besok apa yang terjadi. Sejurus kemudian, Dea duduk dan melipat kedua tangannya dan dia berdoa untuk meminta semoga besok tidak terlalu berat masalah menimpanya. Cukup lama Dea berdoa sampai pada akhirnya terdengarlah kata “Amien”. Dea langsung merebahkan badannya dan menarik selimut untuk tidur nyenyak.
*****
            Keesokan paginya, Mama dan Dea sudah duduk berhadap-hadapan dengan Kepsek. Sepanjang menunggu kehadiran Bianca dan Mamanya, Dea hanya bisa tersenyum. Kepsek sangat sayang kepada Dea, karena Dea adalah seorang siswa yang sangat berprestasi. Mama mengelus-elus perut besarnya sambil sesekali melihat jam.
            Beberapa menit kemudian dari arah pintu muncullah Bianca dan Mamanya yang glamour. Bianca memasang wajah sombong karena merasa sangat bangga atas tampilan Mama Bianca yang kontras dan itu terlihat jauh berbeda dari Mama Dea. Mama Dea menunduk malu sambil memandangi perutnya yang membesar.
            Bianca dan Mamanya duduk, mata sinis mereka tidak berhenti memandang kearah Dea dan Mamanya. Sesaat kemudian Mama Bianca berbisik kearah Bianca. “Kumal, yach?” Bisiknya dan itu terdengar oleh Dead an Mama bahkan Bapak Kepsek pun mendengarnya.
“Ehem…” Pak Kepsek mendehem.
“Anak seperti Dea ini sudah sepatutnya dikeluarkan, Pak” Kata Mama Bianca memecahkan keheningan, Dea membelalakkan matanya dan menangis. “Kasar begitu! Beeuuh, anak seperti apa? Orangtuanya ga ngajari kaliii…” Oceh Mama Bianca membabi-buta.
“Tenang…” Kata Kepsek.
“Tenang apanya Pak? Dia meninju anak saya sampai mimisan, saya tidak terima!” Mama Bianca terlihat emosi.
            Dea hanya bisa menunduk menunggu nasibnya. Bianca tersenyum penuh kemenangan melihat Dea dan Mamanya ketakutan melihat kemegahan Mama Bianca apalagi dalam hal berbicara. Pak Kepsek terlihat memandangi Mama Bianca yang berceloteh sambil memandangi jam, mungkin Pak Kepsek sedang menghitung kira-kira berapa jam yang akan dihabiskan Mama Bianca untuk berbicara tanpa membiarkan temannya berbicara untuk mengeluarkan pendapat.
            Terlihat Mama Bianca sudah kecapaian berbicara panjang lebar. Mata sinisnya berputar kearah Dea dan Mama. Pak Kepsek memanfaatkan waktu itu untuk berbicara. Tetapi saat Pak Kepsek hendak berbicara, Mama Bianca memotong lagi.
“Pokoknya keluarkan anak kurang ajar ini!” Kata Mama Bianca sambil menunjuk kearah Dea. “Anggap saja alasan atas keluarga kami yang menjadi donatur terbesar di sekolahan ini,” Ucap Mama Bianca dengan sombongnya. Dea lemas begitu diucapkan kelebihan-kelebihan dari keluarga Bianca. Ah, kalahlah aku. Pikir Dea lemas.
“Lho?” Pak Kepsek terlihat terkejut. “Kalau begitu saya tidak akan melepaskan anak ini dengan alasan, anak ini adalah anak yang berprestasi,” Kata Pak Kepsek.
“Hallaahh… Pintar tetapi tidak memiliki etika untuk apa?” Oceh Mama Bianca.
“Jangan salah, Bu! Anak Ibulah yang tidak punya etika menghina-hina orangtua dari Dea. Dimana letak kecerdasan anak Ibu? Dia tidak menghormati orangtua,” Kata Pak Kepsek tegas.
“Tak apa-apa! Khan, itu memang kenyataan kalau Bapaknya gagu. Hahahahaha…” Caci Mama Bianca.
“Berarti Ibu sendirilah yang tidak memiliki etika!”
            Perkataan Pak Kepsek membuat Mama Bianca menjadi bungkam dan dia terlihat buntu tak bisa lagi menjawab. Keadaan ruangan hening.
            Pada kenyataannya Dea bebas dari skorsing atau dikeluarkan dari sekolahan. Pak Kepsek yang baik hatilah yang menyelematkannya. Dea memeluk Mamanya sambil berbisik pelan, “Takkan kuulangi lagi, Ma…” Mama melepaskan pelukannya dan mengacungkan jempol pada Dea. Dea berlari-lari ke kelas dengan senangnya. Mama melihat Dea dari kejauhan, tetapi Mama hampir terjatuh karena sengaja ditubruk oleh Mama Bianca.
“Kere!!!”
            Mama Dea hanya mengelus dada dan mencoba tersenyum. Dengan perlahan dia mencoba berjalan meninggalkan sekolahan dengan harapan Dea baik-baik saja belajarnya dan tak mengulah lagi.
            Sementara itu di kelas, Joshua menyambut kedatangan Dea dengan kegirangan dan TOSS!!! Dea tersenyum bahagia, Joshua memandangi kedatangan Bianca dengan menahan-nahan senyum. Dea menyikut Joshua agar berhenti cengengesan.
            Sepulang sekolah Dea terkejut melihat Via yang terbaring di atas tempat tidur dengan suhu tubuh yang sangat panas. Mama memandangi anak bungsunya itu dengan harap-harap cemas. Sesekali Via mengigau.
“Sudah dikasih obat, Ma?” Tanya Dea.
“Uang darimana? Mama hanya mengompres Via saja tadi,” Ujar Mama cemas.
            Dea langsung pergi keluar dan melihat jualan kue Mama masih terletak di atas meja. Dea masuk kamar lagi menjumpai Mamanya.
“Ma, aku saja yang jualan kue, yach?”
            Tanpa menunggu jawaban Dea langsung berlari mengangkat box tempat kue jualan Mamanya. Udara sangat panas, lagi pula Dea belum berganti baju tetapi dia tetap semangat menggantikan Mamanya berjualan kue. Mamanya biasanya berjualan kue di terminal. Maka Dea harus menempuh jarak yang lumayan jauh.
“Kue…Kue…Kue…” Seru Dea menjajakan kuenya. Dea berpapasan dengan beberapa teman sekolahnya, namun dia tidak malu karena ini dilakukannya untuk Mama dan adiknya di rumah. Suhu tubuh adiknya sangatlah panas, Dea tak mau terjadi sesuatu yang buruk pada Via. Dea cukup pandai berjualan, buktinya belum sampai sore hari jualannya sudah laku semua. Dea segera pulang ke rumah dan perutnya terasa sangat lapar karena belum diisi sejak siang tadi.
            Krriiieeettt… Pintu reot mereka terdengar terbuka oleh Dea. Dea bergegas masuk ke dalam kamar dan mengisyaratkan pada Mama bahwa jualannya sudah laku habis. Mama tersenyum dan kemudian Mama menyuruh Dea ke apotik untuk membeli obat buat adiknya. Sebenarnya Dea ingin menolak karena perutnya kosong belum makan seharian. Tetapi apa boleh buat, adiknya perlu makan obat. Perjuangan Dea untuk adiknya belum berakhir.
“Oke, Ma…” Katanya semangat. Sambil berlari lagi keluar untuk membeli obat buat adiknya. Dia berjalan kira-kira 5 KM sampai apotik. Dea segera menyebutkan obatnya, begitu obatnya sudah ada di tangan Dea bergegas pulang ke rumah.
“Ini Maaa…!!!” Seru Dea sudah dari luar rumah hingga dia masuk masih tetap berseru. Saat dia masuk melihat Papanya sudah pulang dan bersantap malam.
“Pa! Tinggalkan untukku, aku belum makan mulai tadi siang!” Kata Dea sambil masuk ke dalam kamar, beberapa detik kemudian dia mencampakkan sepatu sekolahnya begitu saja lalu segera bergabung di meja makan dengan Papanya.
“Hore Makan!!!” Seru Dea senang sekali. Papa kebingungan melihat anaknya makan sangat rakus sekali. Dea tak peduli, dia hanya fokus kepada makanannya saja.
“Hei!” Panggil Papanya kebingungan, Dea hanya memandang sebentar tanpa menyahut kemudian lanjut lagi makan.
“Bagaimana masalahmu di sekolah?” Tanya Papa kikuk.
“Tenang, Pa. Teratasi dengan sangat baik oleh Pak Kepsek yang baik hati,” Dea menjawab dengan sangat kesusahan. Terlihat Mama keluar dari kamar tersenyum melihat Dea.
“Dea…”
“Eh, Ma… Gimana keadaan si Via?” Tanya Dea tanpa menoleh ke Mamanya.
“Makasih yah, Nak. Tapi kenapa kamu ga bilang kalau kamu belum makan sejak tadi siang? Jaga kesehatanmu, Nak,”
“Tenang saja, Ma… Demi adik tercinta…”
            Mama duduk di samping Dea. Mama dan Papa berpandang-pandangan keduanya menahan lucu melihat tingkah anak sulungnya ini. Dea meneguk air minum sebanyak-banyak sampai dia terdengar bersendawa.
“Uuupss… Sorry!”
            Sambil makan, Dea bercerita dan sekali-kali dia tersedak. Dia bercerita tentang kejadian beberapa jam yang lalu saat dia dan Mama berhadapan dengan Kepsek dan Mama Bianca. Yang tadinya, suasana yang sangat menegangkan tetapi sekarang terdengar lucu saat Dea menceritakan dengan humor khas anak-anak. Semuanya dipraktekkannya sampai saat ekspresi wajah Mama Bianca yang menanggung malu ketika pada kenyataanya ternyata Bianca-lah yang salah karena tidak punya etika pada orangtua.
            Dea makan seperti ada peperangan dengan menggunakan senjata tajam karena sendoknya mengais-ngais piring. Selesai makan malam, tiba-tiba Dea seperti sedang kemasukan setan. Tiada angin, tiada hujan tiba-tiba Dea memeluk Mamanya mesra cukup lama, beberapa saat kemudian gentian dia memeluk Papanya.
“Kenapa sich? Lucu dech!” Kata Mama.
“Kok lucu? Aku sayang kalian berdua. Jangan pernah tinggalkan kami yach? Pokoknya teruslah bersama kami. Ok!” Kata Dea serius sambil mengacungkan jempol.
“Hahahahahahahahahahaha…” Mama dan Papa tertawa bersama membuat Dea mencibirkan bibirnya. Padahal Dea serius, bukan sedang membuat lawakan.
“Kami juga sayang padamu, Nak…” Kata Mama dan Papa bersamaan.
“Siippp…”
            Keluarga miskin ini menghabiskan malam bersama dengan senyum menghiasi wajah mereka. Mereka sambilan bernyanyi-nyanyi menghibur Via yang sedang sakit. Via Cuma bisa tersenyum kecut sepertinya dia sangat tidak enak badan.
Bersambung




Tidak ada komentar:

Posting Komentar